Aku memiliki suami yang baik hati dan
anak-anak yang lucu darinya. Kami memiliki rumah yang tak cukup besar tapi
sanggup menampung kebahagian kami yang begitu besar tak terkira. Hidup yang
berkecukupan, semuanya dapat terpenuhi.
Suamiku yang murah hati, bekerja
sebagai pegawai negeri di salah satu universitas di Yogya sebagai dosen. Sudah
10 tahun kami menikah. Dengan dikaruniai 2 orang putra, itu sudah cukup untuk
kami. Putraku yang pertama Reihan masih berusia 10 tahun, sedangkan anakku yang
ke dua yaitu Nadia adalah seorang putri yang berusia 4 tahun di bawah anakku
yang pertama.
“Reihan, ayo cepat turun dan makan!
Nanti ayah dan kamu telat sampai di kampusnya lho,” Perintahku kepada anakku
yang baru menginjak sekolah dasar kelas 5.
“Iya Bun sebentar,”menjawab dari
dalam kamarnya
“Bagaimana keadaan Nadia sekarang
Bun?” tanya suamiku padaku.
“Sudah lebih mendingan kok Yah kalau
dibandingkan dengan kemarin. Nadia sudah mulai sembuh kelihatannya.”
“Syukurlah kalau begitu, kalau ada
apa-apa Bunda harus segera kabari Ayah ya.”
“Iya yah. Semuanya pasti aman
terkendali kok kalau sama Bunda.”
“Yah nanti Reihan dijemput jam 1
saja. Kata bu guru nanti mau ada acara, menjenguk teman kelas Reihan di rumah
sakit Yah”.
“Memangnya siapa yang sakit Rei, dan
sakit apa?”
“Aldy Bun, sakit asma Bun. Kasian
sekali dia. Dua hari yang lalu Aldy dan ayahnya kecelakaan. Karena shock
melihat ayahnya pingsan makanya dia sampai asma.”
Asma? Mendengar kata-kata itu
selintas seperti ada bayangan rindu yang entah dari mana datangnya. Tak lama
aku pun segera melupakannya. Selepas suami dan anakku pergi, aku selalu melanjutkan kegiatan rutinku sebagai ibu
rumah tangga.mengasuh anak terakhirku, membereskan rumah, dan belanja keperluan
rumah, dan menunggu suami dan anakku pulang kembali.
Seperti itulah kegiatanku
sehari-hari. Aku memang bukan seorang istri yang bisa dibanggakan. Aku tak
punya kelebihan apapun. Dan aku beruntung telah memiliki suami yang luar biasa
sempurna. Aku beruntung suamiku menerima segala kecacatan yang kumiliki
termasuk Reihan. Karena Reihan adalah
sisa-sisa masa laluku yang mungkin bisa menyakiti suamiku.
* * *
Sejak mendengar penyakit teman
anakku, aku menjadi sering melamun. Hal itu telah mengingatkanku pada
cerita-ceritaku yang tertinggal dalam kenangan. Dosakah aku pada suamiku
karena
telah seperti ini? Karena hampir setiap hari aku menikmati lamunanku, hampir
aku susah membedakan antara kehidupan nyata dan khayalanku. Ini memang sudah
keterlaluan.
“Bun kamu sakit? Akhir-akhir ini
Bunda sering banget diam saja. Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya suamiku
seolah-olah ingin membuka masalahku.
“Tidak ada apa-apa kok Yah.
Sepertinya hanya kurang darah saja. Jadi terlihat lemes.”
“Apa perlu Ayah antar ke dokter?”
tanya suamiku penuh perhatian sambil memijat punggungku.
“Tidak perlu Yah, Bunda hanya perlu
istirahat saja kok.”
“Ooh ya sudah. Bunda tidur dulu
saja. Bunda memang harus banyak-banyak istirahat.”
Aku selalu mengakhiri tiap malam
dengan tidur terlebih dahulu. Aku selalu lupa akan tugasku sebagai istri.
Sekali lagi, aku telah berdosa kepada suamiku. Tetapi suamiku tak pernah lupa
memperhatikanku. Entah mengapa aku berubah.
* * *
”Bun,
makanannya kok banyak banget hari ini, enak-enak lagi” tanya anakku padaku.
“iya Bun. Ada apa dengan hari ini?”
tanya suamiku juga.
“Tidak ada apa-apa kok. Bunda hanya
ingin berterimakasih kepada Ayah yang sudah berasabar merawat Bunda akhir-akhir
ini.” Jawabku sambil menyuapi Nadia yang kebetulan bangun pagi sekali pagi itu.
“Yah. Kita jenguk Aldy yuuk ke
rumahnya. Sudah 3 hari dia belum berangkat sekolah juga.”
“Apa arus sekarang Rei? Ayah hari
ini sangat sibuk.”
“Sama Bunda saja bagaimana? Bunda
hari ini tidak sibuk kok. Nanti sekalian ajak Nadia adikmu,”
“Iya Bun iya. Aldy pasti senang
kalau ajak Nadia.”
* * *
Siang itu aku dan anakku pergi menuju rumah Aldy, sahabat
dekatnya selama dua tahun belakangan ini. Aku akan merasa bersalah jika menolak
ajakan Reihan menjenguk sahabatnya itu. Karena, Aldy pun sering bermain ke
rumahku dengan di antar supirnya.
“Assalamu’alaikum..!” sapaku sesampai di rumah Aldy. Rumanya
tampak besar bersih dan rapi. Dan yang paling aku suka di sini banyak sekali
anggrek dan mawar warna putih kesukaanku.
“Wa’alaikumsalam...” ada seseorang yang menjawab dari dalam,
mungkin itu adalah pembantunya. “Mau cari
siapa ya Bu...”
“Bibi ini Reihan.”
“Ooh Den Reihan. ini berarti Ibu Den Reihan ya? Pasti mau
jenguk Den Aldy ya? Ayo masuk-masuk.” Seorang pembantu itu membimbing kami
memasuki ruangan-demi ruangan yang amat besar itu menuju ke kamar Reihan. Aku
suka sekali dengan konsep rumah ini. Agak keeropa-eropaan kataku. Bapak dan ibunya Reihan masih belum pulang kerja.
“Den Aldy, ini ada Den Reihan mau menjenguk Aden.” Anak-anak pun langsun
bercengkama membahas sekolahnya.
“Ini mba ada oleh-oleh untuk Aldy”
“Iya Bu terimaksih. Sebentar lagi Bapak juga pulang kerja
kok Bu. Jadi Ibu tunggu disini saja, biar Bibi ambil minum dulu ya Bu?”
Saat pembantu itu sibuk menyiapkan makanan untukku,
tedenngar seperti sang tuan rumah datang.
“Assalamu’alaikum..”
sapa sang tuan rumah, dan langkahnya terdengar meuju kamar anaknya. Suaranya
tidak begitu asing bagiku. Tampak bayangan tubuhnya di depan pintu kamar.
Tubuhnya yang tinggi dan gagah. Tak lama kemudian ada sebingkai wajah
menampakkan diri di daun pintu. Aku seperti mengenal dengan baik wajah lelaki
di depanku ini, wajah dari maa laluku yang ku tinggalkan. Ia pun tampak
terkejut melihatku berada di kamar anaknya. Tatapannya bagai menceritakan
kahidupannya setelah ku tinggal. Ia menggendengku keluar dari kamar anaknya
menuju ke ruang tamu. Tangannya yang hangat, masih sehangat dulu.
“Nara, ini apa benar kamu? Dunia begitu luas. Baru sekarang
aku menemukanmu,” katanya sambil memegani tanganku erat.
“Mas Bimo. Iya ini aku Nara. Semuanya sudah terlambat Mas.”
Jawabku hampir mengangis dan melepaskan genggamannya. Aku takut ketahuan.
“Maafkan aku Ra. Maafkan aku. Aku memang sungguh jahat
kepadamu.” Ia hampir memelukku tapi aku langsung menghidar. Karena ku juga
mendengar langkah kaki, mungkin itu pembantunya.
* * *
Aku dan mas Bimo memang memiliki masa lalu yang tak mungkin
terlupakan. Lebih dari duabelas tahun yang lalu aku mengenal mas Bimo sebagai
suami mba Desi, orang di desaku. Karena cinta adalah sesuatu yang tak mungkin
direncana, akhirnya atas kehendak Tuhan kami saling mencintai.
Aku tahu cinta kami memang terlarang. Terlebih mas Bimo
bukanlah seorang yang masih sendiri, ia telah beristri. Tapi entah mengapa aku
tak mau tau akan hal itu. Aku menjalin cinta tersembunyi dengannya. Apalagi mas
Bimo juga lebih mencintaiku dibanding dengan istrinya. Begitu katanya. Entah
sihir apa yang ia berikan sehingga aku luluh padanya. Larangan dari pihak
keluargaku pun tak pernah musnahkan rasa cintaku padanya. Ini memang aneh, tapi
aku tak pernah pedulikannya.
“Nduk kamu itu mbok ya buka mata. Bimo itu sudah punya
istri, orang desa ini lagi, tetangga kita. Apa kamu tidak malu. Kalau kamu
tidak punya malu, tapi keluarga kita yang malu. Ibumu ini yang paling malu.
Banyak tetangga-tetangga yang mencela keluarga kita. Instighfar Nduk Istighfar.
Jangan-jangan kamu sudah dipelet olehnya. Kamu juga harus hati-hati. Tidak
mungkin kalau dia tidak memiliki niat buruk padamu.” Hampir tiap hari ibu
menceramahiku seperti itu. Tapi aku tak pernah gentar. Tuduhan aku telah
dipelet mas Bimo? Jelas aku tak pernah percaya.
Sesungguhnya
akupun merasa kasihan pada keluargaku sendiri. Terlebih ibuku. Aku tak ingin
ibuku terluka gara-gara aku. Tapi aku pun tak sanggup kendalikan diriku
sendiri. Cintaku memang buta, cintaku memang telah menyakiti orang-orang yang
menyayangiku.
Mas Bimo sangat aku cintai. Begitu pun dengan mas Bimo. Kami
berdua awalnya bertemu secara sembunyi-sembunyi. Tapi lama kelamaan kami berni
untuk bertemu secara terang-terangan. Jelas warga desaku sangat menentang kami.
Dan membenci kami. Terlebih lagi keluarga kertua mas Bimo, sangatlah
membenciku. Aku juga tahu istri mas Bio juga demikian. Ia pun sering melabrakku,
sampai ia hampir membunuhku. Mungkin waktu itu aku akan mati kalau kakakku tak
melihat kejadian itu. Dan sejak saat
itu, istri mas Bimo pergi ke luar negeri. Mungkin untuk lari dari sakit hatinya
ini. Aku hanya bisa merasakan prihatin saja pada mba Heni istri mas Bimo
tersebut. Aku pun tidak memendam dendam
atas kejadian waktu itu. Aku sangat sadar akulah yang salah. Mas Bimo pun
menajdi sering sakit-sakitan. Penyakit asmanya menjadi sering kambuh tak
seperti biasanya.
Karena kejengkelan dan rasa malu keluarga mas Bimo, akhirnya
mas Bimo di pindah secara paksa ke luar negeri dengan alasan melanjutkan
kuliahnya. Tetapi sebelum itu mas Bimo telah menceraikan istrinya. Dan aku di
tinggalkan oleh mas Bimo. Berminggu-minggu kami tak dapat berkomunikasi. Begitupun
dengan perutku ini, yang kian lama kian membuncit. Harus kubawa pergi ke mana
masa depanku ini. Karena kujamin aku akan melahirkan anak ini tanpa ada seorang
ayah yang mengakui. Mas Bimo pun tak pernah tahu bahwa aku telah mengandung
anaknya.
Dalam hari-hari penuh keputus asaan, mas Roni menemukanku.
Ia adalah kakak kelasku waktu di SMA. Suda lama ia memendam perasaan padaku,
tapi terlanjur hatiku telah diis oleh mas Bimo. Mas Roni dengan relanya
mengorbankan masa depannya dengan menikahiku. Aku pun tak sanggup lagi menolak
kebaikannya itu. Yang ku butuhkan saat ini adalah ayah untuk anak di dalam
perutku ini.
Aku selalu merasa memiliki hutang budi yang taramat besar
padanya. Aku pun ingin menjadi istrinya yang terbaik, tetapi aku selalu meminta
waktu untuk hal itu. Selama dua tahun aku menjadi isti mas Bimo, belum pernah
aku tidur bersamanya, dengan alasan ingin menemani anakku. Tetapi tampaknya mas
Bimo tak dapat dibohongi, ia pasti tahu alasan yang sebenarnya. Aku hanya mampu
menyiapkan makan, membersihkan rumah, dan mencuci bajunya tiap hari.
* * *
Tiga tahun setelah kelulusan mas
Bimo kuliah di luar negeri. Ia mencariku ke desaku yang dulu, tak menemukanku
ia lelu mencariku keseluruh penjuru. Alasan mengapa ia telah memiliki istri
lagi, yaitu karena ia dijodohkan oleh orang tuanya. Setahun ia belum punya anak
karena istri mas Bimo didiagnosa kesulitan punya anak, akhirnya mereka
memutuskan untuk mengadopsi anak.
Sejak pertemuan di rumahnya itu. Aku
dan mas Bimo semakin sering berhubungan secara diam-diam dari suamiku maupun
dari istri mas Bimo yang kedua ini. Sejak mas Bimo menceritakan kesusahpayahan
dirinya mencariku, aku seperti tersihir kembali olehnya. Aku bimbang akan
berbuat apa kedepannya. Tapi aku belum siap kalau mas Bimo mengetahui kejadian
memalukan ini. Aku tak siap kehilangan masa-masaku yang sekarang. Masa-masa
bahagiaku dengan mas Bimo dan juga anak-anakku, hanya karena masa laluku yang
tak pernah sirna dalam ingatan dan batinku.
* * *
“Nara..! Nara..!” mas Bimo berteriak
keras meanggilku.
“Ada apa mas? Anak-anak sudah pada
tidur. Jangan ribut.” Aku berusaha menegur.
“Bagimana aku tidak ribut. Kau ini!
Kau inii... sungguh keterlaluan. Ini lihat! Aku menemukan dasi yang tertinggal
di mobilmu, aku juga menemukan ikat rambutmu di tempat yang sama. Apa yang kamu
lakukan di belakangku? Dengan siapa kamj melakukan itu? Katakan!” kemarahannya
semakin menjadi. Ia kalap sampai menampar pipiku. Aku hanya mampu terdiam
membisu. Karena aku pun bersalah telah menampar hatinya keras-keras.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar