Kembalikan Waktuku !
Bu. Bapak sungguh tak habis
pikir dengan bapakmu itu,” sambil menyeruput kopi hidangannya.
“Iya Pak. Ibu juga tak pernah menyangka
hal seperti itu. Tak pernah berpikir bapak ibu lebih memihak keluarga kang
Rasid dibanding kita. Padahal apa kurangnya kita, sewaktu bapak masih hidup.”
“Bapak benar-benar tidak bisa terima
ini semua Bu. Rasanya Bapak ingin menghancurkan keluarga itu. Ingin melihat
keluarga itu menderita. Sangat menderita di depan mata kepala Bapak sendiri.”
Tok.tok.tok..!!
Assalamu’alaikum..
“Wa’alaikumsalam,”menjawab “Siapa itu
Bu? seperti suara yu Rasid,” terkejut mendengar pintu rumahnya diketuk.
“Entahlah. Akan Ibu buka pintunya ya
Pak.”
“Minah, ini ada bingkisan buat
keluargamu. Karena taku bosan dengan sate julan kami. Kami buatkan semur untuk
keluarga kalian. Hitung-hitung hanya untuk syukuran atas pembagian warisan
kemarin. Semoga warisan yang kita terima menjadi berkah ya. Ini tolong
diterima,” istri Rasid menyerahkan sebuah bingkisan.
“iya Yu. Semoga saja begitu. Dan
semoga berkah walapun terasa tak adil,” menjawab sinis.
“Sudah Nah. Tidak usah dipermasalahkan
lagi. Kemarin kan sudah ditetapkan hasil pembagian warisannya, kita ikuti hukum agama yang kita anut. Jadi tidak
salah kalau suamuku mas Rasid yang mendapatkan lebih dari saudara
perempuannya.”
“Iya iya. Siapa sih yang mau kalah.
Terimakasih bingkisannya. Kami sangat terkesan.” Dengan nada menyidir dan
sinis.
“Ya suda Yu pamit dulu. Oya Nah, besok kan ada
pengambilan rapor anak kita. Karena Yu tidak sempat, boleh ya Yu nitip ambilkan
sekalian rapor Tono. Terimakasih ya. Assalami”alaikum.”
“Ya besok kalau sempat Yu.
Wa’alaikumsalam.”
“Benar Bu tadi Yu Rasid?”
“Iya Pak. Ini ada bingkisan darinya.
Tidak sudi Ibu memakannya. Biar Ibu beri ke kucing liar saja yang suka
berkeliaran di sini.”
“Ya terserah padamu saja istriku.
Bapak memiliki beberapa ide untuk menjatuhkan keluarga mereka Bu. Tapi Bapak
masih ragu-ragu. Tapi bagaimana pendapat Ibu mengenai ini?....”
diskusi penuh
rahasia berlangsung dengan persetujuan oleh keduanya. Rencana-rencana matang
pun dipersiapkan dengan serius. Entah apa yang ada di otak mereka berdua.
* * *
Mentari
pagi menyapa hari jum’at ini. Masih ada embun pagi yang tersisa di daun-daun
kebun pak Hasan yang rimbun, dengan taburan warna-warni bunga di pucuk-pucuk
batangnya. Tampak ulat-ulat yang menggeliat terkena paparan sinar pagi yang
menyengat di musim kemarau ini.
Anak sekolah dan pekerja kantoran
tampak sibuk di meja makan rumah masing-masing,
menghabiskan sarapan hidangan favorit keluarga. Para petani yang siap
menantang sinar mentari dengan cangkul yang masih mengantuk di punggung pak
tani. Adapun yang masih terlelap tidur, menunggu sang ibu datang membangunkan.
Semua tampak damai dan sejahtera, kalangan bawah maupun atas.
Hari jum’at yang penuh kedamaian ini.
Adalah hari pembagian rapor Wulan dan juga Tono, anak Hasan dan Rasid. Tidak
hanya mereka, yang lain pun akan merasa hal yang sama bila harus menghadapi
hari-hari ini, yaitu pembagian rapor.
Sekolah tampak lebih ramai dari
biasanya. Bapak dan ibu wali murid tampak rapi dengan pakaian batik mereka,
terutama pak Hasan yang akan mengambil rapor Wulan juga Tono. Terlihat benar
sepatu yang hitam bersih dan mengkilap sudah dipersiapkan dari kemarin oleh
tangan istrinya yang serba bisa itu.
Semua wali murid tampak siap menerima
angka-angka hasil belajar anaknya selama satu semester ini. Baik atapupun buruk
toh anaknya sudah berusaha sebaik
mungkin. Sedangkan sebagian anak-anak mereka menunggu dengan pucat cemas di
balik kaca-kaca jendela kelas mereka. Sebagian justru asyik bermain dengan
kelompok teman-temannya. Satu persatu orang tua dipanggil untuk maju menghadap
wali kelas menerima rapor beserta beberapa komentar penunjang lainnya.
“Ana Wulandari” wali kelas memanggil,
pak Hasan segera bergegas menghampiri.
“Bu sekalian mau ambil rapornya Tono,
karena orang tua mereka tidak ada yang sempat.”
“Ooh begitu. Ya baik lah. Rapornya
Wulan dulu ya Pak. Begini Pak, ada beberapa penurunan dari putra Bapak yaitu
pada beberapa mata pelajaran. Dan hal yang paling mengejutkan dari putra Bapak
kemarin ditemukan sedang merokok di belakang sekolah bersama dua anak siswa laki-laki
lainnya. Tiga hari sebelum ujian, sekolah pun memutuskan untuk skorsing putra
Bapak, dan mengirim surat panggilan kepada orang tua. Tetapi sampai sekarang
belum ada kabar dari Bapak. Apakah Bapak suda menerima berita ini sebelumya?”
Wajah pak Hasan pun seketika merah
padam. Jantungnya pun memburu tak karuan menahan malu dan juga kesal kepada
anaknya. Terlintas bayangan untuk menyeret anaknya dari sekolah pulang ke
rumah.
“Bagiamana bisa anak saya seperti iu
Bu? Saya tidak menerima berita apapun.”
“Ya sudah yang penting sekarang Bapak
sudah mengetahui yang sebenarnya. Putra Bapak tampaknya butuh bimbingan dan
perhatian lebih dari Bapak.” Sang wali kelas pun hanya mampu membantu
menenangkannya, karena semua pihak sekolah sudah tahu bagaimana seluk beluk
keluarga ini. Apapun akan disingkairkan, hal yang dianggap menganggu hidup
mereka. “Oh ya giliran Tono ya pak? Kalau Tonon masih aman-aman saja. Tampaknya
ia sudah mampu mengikuti pelajaran-pelajaran di kelas dengan baik. Namun dia sungguh anak yang pemalu, sehingga
dalam pembelajaran ekspesi sering terhambat. Tapi selain masalah itu mampu
diatasi.”
“Begitu ya Bu. Ya sudah terimakasih
atas kesabaran Ibu untuk membimbng anak kami. Saya pamit dulu Bu,” berpamitan
dengang muka masam. Semua orang yang melihat pun akan tahu seperti apa wujudnya
gunung yang siap memuntahkan lavanya.
Sorot mata pak Hasan begitu tajam
menatap Wulan anak perempuan semata wayangnya yang hendak mnginjak kelas dua
SMP. Tanpa berkata-kata, Wulan langsung tahu maksud dari tatapan ayahnya
tersebut, sinyal-sinyal yang terpancar dari matanya memberi kode agar Wulan
ikut segera pulang dengannya. Dengan tertunduk takut, Wulan membayangi langkah
ayahnya, terlintas dipikirannya bahwa ia akan dihabisi oleh ayah ibunya setiba
di rumah nanti. Tono yang sudah terlanjur takut, mengurungkan niatnya untuk
mengambil rapor yang masih dalam genggaman ayah Wulan.
****
“Anak tidak tahu malu!” bersamaan
dengan tangannya yang ringan membanting anaknya ke lantai, diikuti isak tangis
Wulan.
“Ada apa to Pak, pulang-pulang langsung ngamuk seperti ini? Ibu Minah dari
arah dapur langsung berlari menghampiri sumber keributan.
“Ini Bu anakmu. Anak tidak tahu malu!
Merokok bersama teman laki-laki. Sudah rusak kau ini!” sambil menendang Wula,
tangis Wulan semakin menjadi.
“Sudah pak sudah. Biar Ibu saja yang
urus ini semua. Serahkan saja semua sama Ibu,” berusaha menenangkan suaminya
sambil mengelus dadanya lembut agar emosinya menurun. “ ayo Wulan masuk ke
kamarmu, tidak usah menangis terus. Waktu tidak akan kembali untuk memperbaiki
kelakuan nakalmu.” Meraih anaknya dengan lembut.
“Maafkan Wulan Bu,” dengan setengah
duduk memegangi kaki ibunya dan masih menangis.
“Sebenarnya Ibu sangat marah padamu,
tapi Ibu masih kasian padamu yang telah habis dimarahi ayahmu,” lembut
mengelus-elus rambut anaknya.
Ini semua tampak tak biasa. Dalam
hari-hari biasanya seharusnya ibunya akan lebih marah seperti ayahnya. Tapi
hari ini tampak begitu berbeda. Ada apa ini? Tanya hati Wulan pada dirinya. Tak
henti Wulan menangis hingga ia tertidur.
****
“Pak seharusnya Bapak tidak sebegitu
besar marahnya pada anak kita”
“Lho mengapa Ibu berubah menjadi baik
seperti ini?” tanya pak Hasan heran. “Apa Ibu telah berubah pikiran terhadao
rencana kita pada har ini?”
“Oleh karena itu Pak. Kita harus
baik-baik terhadap anak kita, karena kita juga melibatkannya dalam rencana kita
yang cukup bahaya ini.”
“Jadi Ibu sudah membocorkan rencana
kita pada Wulan?”
“Tidak Pak. Tenang saja. Ini masih
tetap menjadi rahasia kita. Wulan maih terlalu kecil untuk mengerti masalah
ini.
“tok.tok.tok...sateee.satee...” suara
pak Rasid terdengar dari kejauhan sedang menjajakan satenya.
“Pak? Bapak sudah siap?”
“Iya Bu. Ayo kita kerjakan mulai dari
sekarang.”
“Kang! Beli satenya Kang. Tiga puluh
sate ya Kang.”
“Iya Nah. Kok tumben sekali beli
banyak. Ada pesta di rumahmu?” tanya pak Rasid.
“Tidak ada acara apa-apa kok Kang.
Kangen saja sama sate Kang Rasid.”
“Ah bercanda kamu. Sudah
bertahun-tahun makan sate Akang masih saja bisa merasa kangen. Oh ya mau
sekalian ambil rapor Tono, katanya kemarin Tono belum sempat memintanya.
Bagaimana hasil rapor Wulan anakmu?”
“Wulan sangat mengecewakan rapornya.
Sudah jangan ditanya lagi membuat panas hati saja. Tunggu ya Kang akan Minah
ambilkan rapor Tono.”
“Ini Kang. Satenya sudah jadi?” sambil
menyerahkan rapor milik Tono.
“Oya ini sudah jadi. Trimakasih ya
sudah mau ambilkan rapor Tono. Kemarin Akang dan mbakyumu tidak sempat
mengambilnya.”
“Iya Kang sama-sama. Terimakasih
satenya”
Pak Rasid masih tak sadar akan
kelembutan adik bungsunya tersebut. Kebaikan ini tidak tanpa alasan. Dalam otak
Minah juga suaminya banyak rencana-rencana busuk yang belum pernah diwujudkan.
Terutama rencana untuk menjatuhkan keluarga kakanya.
“Pak... Pak. Bapak benar-benar sudah siap?”
tanya ibu Minah meyakinkan.
“Iya sudah Bu. Ayo sajikan satenya.
Bapak sudah atur semuanya dengan baik. Tak ada yang cacat satu pun. Dan kita
akan berhasil. Haa..haha”
“Haha.hahha.. benar sekali Pak.
Benar.”
Suara berisik dari kedua orang tuanya,
menghentikan mimpi-mimpi indah Wulan sore itu. Dibuatnya penasaran, ingin
menghampiri tetap masih merasa taku dengan amukan ayahnya, yang pasti belum
reda, pikirnya dalam hati.
“Wulaaan. Wulaan. Ibu tahu kamu sudah
bangun. Ayo cepat keluar. Ibu sudah belikan sate pak dhemu ini ayo.”
Dengan langkah penuh takut Wulan
menghamiri meja makan.
“Ini satenya. Ayo ini ibu ambilkan
nasinya. Makan yang banyak. Tadi siang kamu kan belum sempat makan siang. Kamu
sudah tidur dulu si, Ibu tidak tega bangunkan kamu.” Bujuk rayu ibunya sanbil
mengambilkan nasi ke piring Wulan, dan Wulan pun mulai luluh dari rasa
takutnya.
Keluarga itu pun mulai menikmati
satenya dengan lahap. Masih dala canda tawa, tiba-tiba Ibu Minah mengeluh sakit
perut luar biasa, disusul Wulan, ayahnya pun merasakan hal yang sama. Semuanya
terkapar di lantai ruang makan. Pak Hasan yang masih sadar menyempatkan diri
menelepon salah satu tetangganya meminta pertolongan.
****
“Bagaimana Dok keadaan keluarga ini,”
tanya salah seorang tetangga pak Hasan. “Saya ini tetangga mereka yang membawa
mereka kemari.”
“Begini Pak. Keadaan mereka saat ini
masih kritis. Tetapi sepertinya Bapak tersebut akan lebih cepat sadar dari
lainnya karena efek racunnya belum terlalu parah. Seperti mereka telah
keracunan makanan. Zat apa itu, akan kami teliti lebih lanjut. Apa bapak tahu
mereka sedang makan apa sebelum mereka jatuh pingsan?”
“Sepertinya makan sate Pak. Tapi
keluarga saya baik-baik saja, setalah makan sate yang kami beli dar penjual
yang sama.”
“Oh baik. Terimakasih laporannya pak.
Akan kami teliti dari sampel darah mereka.”
“Pak Rustono?” panggil pak hasan dari
dalam ruang rawat.
“Iya pak Hasan. Kau siuman Pak? Apa
yang terjadi sehingga bisa seperti ini?”
“Entah Pak. Saya tidak tahu. Tetapi
saya curiga dengan sate dari Kang Rasid yang saya makan. Saya juga sudah
melaporkan ini kepolisi tadi sebelum Bapak masuk.”
“Ah yang benar saja Pak. Tidak mungkin
sate itu diracuni ole Pak Rasid. Memangnya keluarga Bapak salah apa?”
“Saya juga tidak merasa salah. Tapi
ini bisa saja karena pembalasan dendam Pak Rasid pada keluarga kami. Sudah ya
Pak. Saya rasa masih butuh istirahat. Tubuh inu belum kuat untuk beraktivitas
banyak.”
“Ya sudah. Sebaiknya Bapak istirahat
dulu yang banyak. Kami akan bergantian untuk menjaga keluarga Bapak disini.”
Ternyata inilah rahasia yang
direncanakan pak Hasan oleh istrinya. Benar-benar nekat dan membahayakan mereka
sendiri. Tak pasti keluarga pak Rasid akan jatuh, bisa-bisa malah mereka yang
mati karena racun yang mereka makan sendiri.
****
“Bapaaak. Bapaak.. jangan sakiti
Wulan. Wulan minta maaf atas kenakalan Wulan. Wulan janji Wulan akan jadi anak
yang menurut dengan Bapak. Bapaaak. Bapaaak.” Suara Wulan semakin menjauh.
Tiba-tiba pak Hasan terbangun dari
mimpinya. Ia merasa lega ternyata itu hanyalah sebuah mimpi bahwa ia
ditiggalkan oleh anaknya untuk selamanaya. Tetapi ia juga terkejut banyak
polisi yeng berjajar mengelilingi ranjang tidurnya.
“Selamat pagi Pak.” Sapa seorang
polisi dengan posisi hormat. Pak Hasan hanya bisa membalas dengan senyum
bingung. “Maaf kedatangan kami telah mengganggu tidur Bapak. Sebelumnya kami
ucapkan turut berduka cita atas meninggalnya putra Bapak yang bernama Wulan.
Dan berita selanjutnya kami, mendapatkan bukti bahwa tersangka dalam
perencanaan pembunuhan ini adalah Bapak. Oleh karena itu, kami memberikan surat
penahanan untuk Bapak.
Jantung pak Hasan serasa lepas dari
tubuhnya. Mulutnya bergetar. Wajahnya yang pucat semakin memucat.
“Wuullaannn anakkuuu...
Wualaaann..”tangis Pak Hasan memenuhi ruangan.”Istriku mana? Mana istrikuu?”
sambil meronta-ronta seperti orang gila.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar