Suatu karya pada dasarnya merupakan hasil
pemikiran dan perenungan pengarang terhadap berbagai peristiwa di dunia nyata.
Tentu saja karya sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi
sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat pengarang
tentu memiliki pendapat tersendiri mengenaisituasi dan masalah yang terjadi di
lingkungannya. Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai
lalu dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan
peristiwa imajinatifdan kreatitif sang pengarang.
Penyerapan
keadaan sosial melelui karya sastra merupakan hal yang harus diperhatikan
pengarang. Sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan cerita
faktual kemudian digubah kedalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hali ini
sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan bagi pembaca.
Begitupun
ketika bergagai belahan dunia terjadi arus gelombang perlawanan, khususnya
ketika terjadi pemberontakan terhadap sisitem patriarki yang dipelori kaum
feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa kelahirannya hingga
kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali.
Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun
budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja selalu dimarjinalkan di bawah
dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisis yang telah mapan inilah yang
hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum
sesamanya yang ada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
Gerakan
feminisme ini muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakann atas berbagai
kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum peremuan yang dilakukan
selama berabad-abad lamanya. Gerakan feinisme ini pada awalnya berasal dari
asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi
dan dianggap makhluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk
mengakhiri penindasan tersebut.
Dalam
arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
wanita dan kaum pria. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya
feminis, yaitu a). Feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak,
bak dalam pekerjaan maupun pendidikan, b). Feminis radikal, berpusat pada akar
permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender,
c). Feminis sosialis dan Marxis, yang pertama meberikan intensitas pada gender,
sedangkan yang kedua pada kelas, d). Feminis posmodernis, gender dan ras tidak
memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada
laki-laki dan perempuan, dan e). Feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas
pada ras dan kolonialisme.
Dalam
itu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis,
yaitu studi sastra yang mengarah pada wanita. Kritik sastra feminis bukan
berarti mengkritik wanita, atau kritik tentang, atau kritik tentang pengarang
wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah
pengritik memandang sastra dengan kesadran khusus, kesadaran bahwa ada
jenis kelamkn yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.
Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan
ideologi kekuasaan laki-laki yang andosentris atau patriatikal, yang sampai
sekarang masih menguasai penulisan dan pembaca sastra. Pebedaan jenis kelamin
pada diri penyair, penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah yang
memepengaruhi situasi sistem komunikas sastra.
Asal
pemkiran feminis ini sebenarnya berasal dari prancis, yaitu ketika terjadi
revolusi perancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan sosial
besar-besaran tersebut turur pula memunculkan
argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan
ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Meskipun feminisme ini berasal dari
negri menara Eifell tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan oleh
Amerika. Feminisme sebenarnya akibat ketidakpuasan kaum perempuan terhadap
sistem patriaki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
Pada
tahun 1776 ketika Amerika memproklamisika kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal” ( semua
laki-laki dianggap sama) tanpa menyebut-nyebut perempuan . Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika barometer
keadilan dn kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu mendengung-dengungkan
persamaan derajat diantara manusia, namun sayangnya hal tersebut tidak dialami
oleh kaum perempuan. Para feminisme menganggap bahwa pemerintah tidak
mengindahkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada
masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakata kulit putih sangat memandang rendah
kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika.
Ada
beberapa aspek yang turut memengaruhi terjadinya gerakan femisme, yaitu aspek
politik seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan
merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan
kaum perempuan yang berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek
agama serta sosialisme.
Aspek
agama, menurut pendapat ini, gereja bertanggung jawab atas kedudukan wanita
yang inferior, karena baik agama Katolik maupun protestan menempatkan perempuan
pada posisi yang lebih rendah dari pad kedudukan laki-laki. Contoh lainnya
yaitu kebiasaan kaum lelaki yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu selalu
mengucapkan terimakasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai
perempuan.
Aspek
ketiga yang memengaruhi gerakan femisme yaitu konsep sosialisme dan Marxis. Menurut
para feminis Amerika, wanita merupakan suatu kelasb masyarakat yang ditindas
oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki.
Pemikiran
tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula beribas pada berbagai ranah
kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya satra yang notabene
merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah
peristiwa yang berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang
sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
Nilai-nilai
inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat
wanita menjadi rendah. Nilai-nila ini yang menyebabkan kaum wanita terhambat
perkembangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Wanita tidak sanggup untuk
menjadi pribadi yang mandiri yang bangga akan jati dirinya, terutama dalam
hidup bermasyarakat. Mereka bergantung pada laki-laki: bapak, saudara, atau
suami khususnya dalam hal keuangan dan daya pikir atau intelektualitas.
Dalam
karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang menggunakan media
sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki yang selama ini
dirasa telah mengukungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan.
Demikian
pula halnya yang terjadi pada karya sastra indonesia. Sejak masa kelahirannya
di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para
pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang
umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu
mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka
tehadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar
masyarakat di indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada
kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan emansipasi
perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada
novel Layar Terkembang yang mulai
membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini
mengalami ketertindasan.
Memasuki
dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan
dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan lahirnya novel-novel
yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai
makhluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan
menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani menyuarakan
sikapnya meskipun masih juga
penggambaran perempuan yang bersifat lemah dalam menghadapi berbagai masalah.
Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an , seperti Karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Ariyanti. Di samping itu para pengarang
perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis
Basino, Sariamin, S. Rukiah, La Rose, Maria A. Sarjono, Mariaane Katoppo, dan
masih banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai
khazanah kesusastraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu
lebih memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya
alasan komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka.
Hal tersebut dapat dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat
menyukai karya-karya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan, baik remaja
maupun dewasa.
Apabila
dibandingkan dengan angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang
perempuan angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun
masih menyuarakan ketertindasan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan
2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi
dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak
kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari
berbagai bidang tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang
pada karya sastra sekarang yakni ditahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya
setelah terjadi reformasi pada media 1998, karya-karya pengarang perempuan juga
lebih berani dan terbuka dalam bersikap.
Perihal
seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak kara sastra pengarang
perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat dikalangan sastrawan,
kritikus, dan pembaca sastra pada umunya. Ada yang memaklumi karena hal
tersebut bagian dari kehidupan yang
jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi.
Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang fulgar dengan
mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh
para pengarang perempuan dari angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan
kehidupan seksulitas tokoh-tokohnya. Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan
budaya sepertinya juga ingin dikemukakan juga. Pengarang yang juga termasuk dalam sastrawan
2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas
seksualitas
Seiring
dengan arus globalisasi dunia disamping pendidikan pengarang perenpuan masa
kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju
pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka
menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak
kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan
perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang
digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka,
mengindikasikan kekuasaan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan
tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak
kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaan dari kaum perempuan.
Meski mendapatkan banyak kritikan dari pengamatan sastra karena banyak
mendiskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para feminis risih karena
mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan
perempuan.
Hal
yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara angkatan tersebut di
antaranya karena perjuagan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar
dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makhluk kelas dua yang
terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa
dukungan dari laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara,
Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Fminis
Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar