Minggu, 10 Februari 2013

Cerpen-Hidup di Dalam Masa Lalu



            Aku memiliki suami yang baik hati dan anak-anak yang lucu darinya. Kami memiliki rumah yang tak cukup besar tapi sanggup menampung kebahagian kami yang begitu besar tak terkira. Hidup yang berkecukupan, semuanya dapat terpenuhi.
            Suamiku yang murah hati, bekerja sebagai pegawai negeri di salah satu universitas di Yogya sebagai dosen. Sudah 10 tahun kami menikah. Dengan dikaruniai 2 orang putra, itu sudah cukup untuk kami. Putraku yang pertama Reihan masih berusia 10 tahun, sedangkan anakku yang ke dua yaitu Nadia adalah seorang putri yang berusia 4 tahun di bawah anakku yang pertama.
            “Reihan, ayo cepat turun dan makan! Nanti ayah dan kamu telat sampai di kampusnya lho,” Perintahku kepada anakku yang baru menginjak sekolah dasar kelas 5.
            “Iya Bun sebentar,”menjawab dari dalam kamarnya
            “Bagaimana keadaan Nadia sekarang Bun?” tanya suamiku padaku.
            “Sudah lebih mendingan kok Yah kalau dibandingkan dengan kemarin. Nadia sudah mulai sembuh kelihatannya.”
            “Syukurlah kalau begitu, kalau ada apa-apa Bunda harus segera kabari Ayah ya.”
            “Iya yah. Semuanya pasti aman terkendali kok kalau sama Bunda.”
            “Yah nanti Reihan dijemput jam 1 saja. Kata bu guru nanti mau ada acara, menjenguk teman kelas Reihan di rumah sakit Yah”.
            “Memangnya siapa yang sakit Rei, dan sakit apa?”
            “Aldy Bun, sakit asma Bun. Kasian sekali dia. Dua hari yang lalu Aldy dan ayahnya kecelakaan. Karena shock melihat ayahnya pingsan makanya dia sampai asma.”
            Asma? Mendengar kata-kata itu selintas seperti ada bayangan rindu yang entah dari mana datangnya. Tak lama aku pun segera melupakannya. Selepas suami dan anakku pergi, aku selalu  melanjutkan kegiatan rutinku sebagai ibu rumah tangga.mengasuh anak terakhirku, membereskan rumah, dan belanja keperluan rumah, dan menunggu suami dan anakku pulang kembali.
            Seperti itulah kegiatanku sehari-hari. Aku memang bukan seorang istri yang bisa dibanggakan. Aku tak punya kelebihan apapun. Dan aku beruntung telah memiliki suami yang luar biasa sempurna. Aku beruntung suamiku menerima segala kecacatan yang kumiliki termasuk Reihan. Karena Reihan  adalah sisa-sisa masa laluku yang mungkin bisa menyakiti suamiku.

* * *
            Sejak mendengar penyakit teman anakku, aku menjadi sering melamun. Hal itu telah mengingatkanku pada cerita-ceritaku yang tertinggal dalam kenangan. Dosakah aku pada suamiku
karena telah seperti ini? Karena hampir setiap hari aku menikmati lamunanku, hampir aku susah membedakan antara kehidupan nyata dan khayalanku. Ini memang sudah keterlaluan.
            “Bun kamu sakit? Akhir-akhir ini Bunda sering banget diam saja. Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya suamiku seolah-olah ingin membuka masalahku.
            “Tidak ada apa-apa kok Yah. Sepertinya hanya kurang darah saja. Jadi terlihat lemes.”
            “Apa perlu Ayah antar ke dokter?” tanya suamiku penuh perhatian sambil memijat punggungku.
            “Tidak perlu Yah, Bunda hanya perlu istirahat saja kok.”
            “Ooh ya sudah. Bunda tidur dulu saja. Bunda memang harus banyak-banyak istirahat.”
            Aku selalu mengakhiri tiap malam dengan tidur terlebih dahulu. Aku selalu lupa akan tugasku sebagai istri. Sekali lagi, aku telah berdosa kepada suamiku. Tetapi suamiku tak pernah lupa memperhatikanku. Entah mengapa aku berubah.
* * *
          ”Bun, makanannya kok banyak banget hari ini, enak-enak lagi” tanya anakku padaku.
            “iya Bun. Ada apa dengan hari ini?” tanya suamiku juga.
            “Tidak ada apa-apa kok. Bunda hanya ingin berterimakasih kepada Ayah yang sudah berasabar merawat Bunda akhir-akhir ini.” Jawabku sambil menyuapi Nadia yang kebetulan bangun pagi sekali pagi itu.
            “Yah. Kita jenguk Aldy yuuk ke rumahnya. Sudah 3 hari dia belum berangkat sekolah juga.”
            “Apa arus sekarang Rei? Ayah hari ini sangat sibuk.”
            “Sama Bunda saja bagaimana? Bunda hari ini tidak sibuk kok. Nanti sekalian ajak Nadia adikmu,”
            “Iya Bun iya. Aldy pasti senang kalau ajak Nadia.”
* * *
Siang itu aku dan anakku pergi menuju rumah Aldy, sahabat dekatnya selama dua tahun belakangan ini. Aku akan merasa bersalah jika menolak ajakan Reihan menjenguk sahabatnya itu. Karena, Aldy pun sering bermain ke rumahku dengan di antar supirnya.
“Assalamu’alaikum..!” sapaku sesampai di rumah Aldy. Rumanya tampak besar bersih dan rapi. Dan yang paling aku suka di sini banyak sekali anggrek dan mawar warna putih kesukaanku.
“Wa’alaikumsalam...” ada seseorang yang menjawab dari dalam, mungkin itu adalah pembantunya. “Mau cari  siapa ya Bu...”
“Bibi ini Reihan.”
“Ooh Den Reihan. ini berarti Ibu Den Reihan ya? Pasti mau jenguk Den Aldy ya? Ayo masuk-masuk.” Seorang pembantu itu membimbing kami memasuki ruangan-demi ruangan yang amat besar itu menuju ke kamar Reihan. Aku suka sekali dengan konsep rumah ini. Agak keeropa-eropaan kataku. Bapak  dan ibunya Reihan masih belum pulang kerja. “Den Aldy, ini ada Den Reihan mau menjenguk Aden.” Anak-anak pun langsun bercengkama membahas sekolahnya.
“Ini mba ada oleh-oleh untuk Aldy”
“Iya Bu terimaksih. Sebentar lagi Bapak juga pulang kerja kok Bu. Jadi Ibu tunggu disini saja, biar Bibi ambil minum dulu ya Bu?”
Saat pembantu itu sibuk menyiapkan makanan untukku, tedenngar seperti sang tuan rumah datang.
          “Assalamu’alaikum..” sapa sang tuan rumah, dan langkahnya terdengar meuju kamar anaknya. Suaranya tidak begitu asing bagiku. Tampak bayangan tubuhnya di depan pintu kamar. Tubuhnya yang tinggi dan gagah. Tak lama kemudian ada sebingkai wajah menampakkan diri di daun pintu. Aku seperti mengenal dengan baik wajah lelaki di depanku ini, wajah dari maa laluku yang ku tinggalkan. Ia pun tampak terkejut melihatku berada di kamar anaknya. Tatapannya bagai menceritakan kahidupannya setelah ku tinggal. Ia menggendengku keluar dari kamar anaknya menuju ke ruang tamu. Tangannya yang hangat, masih sehangat dulu.
“Nara, ini apa benar kamu? Dunia begitu luas. Baru sekarang aku menemukanmu,” katanya sambil memegani tanganku erat.
“Mas Bimo. Iya ini aku Nara. Semuanya sudah terlambat Mas.” Jawabku hampir mengangis dan melepaskan genggamannya. Aku takut ketahuan.
“Maafkan aku Ra. Maafkan aku. Aku memang sungguh jahat kepadamu.” Ia hampir memelukku tapi aku langsung menghidar. Karena ku juga mendengar langkah kaki, mungkin itu pembantunya.
* * *
Aku dan mas Bimo memang memiliki masa lalu yang tak mungkin terlupakan. Lebih dari duabelas tahun yang lalu aku mengenal mas Bimo sebagai suami mba Desi, orang di desaku. Karena cinta adalah sesuatu yang tak mungkin direncana, akhirnya atas kehendak Tuhan kami saling mencintai.
Aku tahu cinta kami memang terlarang. Terlebih mas Bimo bukanlah seorang yang masih sendiri, ia telah beristri. Tapi entah mengapa aku tak mau tau akan hal itu. Aku menjalin cinta tersembunyi dengannya. Apalagi mas Bimo juga lebih mencintaiku dibanding dengan istrinya. Begitu katanya. Entah sihir apa yang ia berikan sehingga aku luluh padanya. Larangan dari pihak keluargaku pun tak pernah musnahkan rasa cintaku padanya. Ini memang aneh, tapi aku tak pernah pedulikannya.
“Nduk kamu itu mbok ya buka mata. Bimo itu sudah punya istri, orang desa ini lagi, tetangga kita. Apa kamu tidak malu. Kalau kamu tidak punya malu, tapi keluarga kita yang malu. Ibumu ini yang paling malu. Banyak tetangga-tetangga yang mencela keluarga kita. Instighfar Nduk Istighfar. Jangan-jangan kamu sudah dipelet olehnya. Kamu juga harus hati-hati. Tidak mungkin kalau dia tidak memiliki niat buruk padamu.” Hampir tiap hari ibu menceramahiku seperti itu. Tapi aku tak pernah gentar. Tuduhan aku telah dipelet mas Bimo? Jelas aku tak pernah percaya.
          Sesungguhnya akupun merasa kasihan pada keluargaku sendiri. Terlebih ibuku. Aku tak ingin ibuku terluka gara-gara aku. Tapi aku pun tak sanggup kendalikan diriku sendiri. Cintaku memang buta, cintaku memang telah menyakiti orang-orang yang menyayangiku.
Mas Bimo sangat aku cintai. Begitu pun dengan mas Bimo. Kami berdua awalnya bertemu secara sembunyi-sembunyi. Tapi lama kelamaan kami berni untuk bertemu secara terang-terangan. Jelas warga desaku sangat menentang kami. Dan membenci kami. Terlebih lagi keluarga kertua mas Bimo, sangatlah membenciku. Aku juga tahu istri mas Bio juga demikian. Ia pun sering melabrakku, sampai ia hampir membunuhku. Mungkin waktu itu aku akan mati kalau kakakku tak melihat kejadian itu.  Dan sejak saat itu, istri mas Bimo pergi ke luar negeri. Mungkin untuk lari dari sakit hatinya ini. Aku hanya bisa merasakan prihatin saja pada mba Heni istri mas Bimo tersebut.  Aku pun tidak memendam dendam atas kejadian waktu itu. Aku sangat sadar akulah yang salah. Mas Bimo pun menajdi sering sakit-sakitan. Penyakit asmanya menjadi sering kambuh tak seperti biasanya.
Karena kejengkelan dan rasa malu keluarga mas Bimo, akhirnya mas Bimo di pindah secara paksa ke luar negeri dengan alasan melanjutkan kuliahnya. Tetapi sebelum itu mas Bimo telah menceraikan istrinya. Dan aku di tinggalkan oleh mas Bimo. Berminggu-minggu kami tak dapat berkomunikasi. Begitupun dengan perutku ini, yang kian lama kian membuncit. Harus kubawa pergi ke mana masa depanku ini. Karena kujamin aku akan melahirkan anak ini tanpa ada seorang ayah yang mengakui. Mas Bimo pun tak pernah tahu bahwa aku telah mengandung anaknya.
Dalam hari-hari penuh keputus asaan, mas Roni menemukanku. Ia adalah kakak kelasku waktu di SMA. Suda lama ia memendam perasaan padaku, tapi terlanjur hatiku telah diis oleh mas Bimo. Mas Roni dengan relanya mengorbankan masa depannya dengan menikahiku. Aku pun tak sanggup lagi menolak kebaikannya itu. Yang ku butuhkan saat ini adalah ayah untuk anak di dalam perutku ini.
Aku selalu merasa memiliki hutang budi yang taramat besar padanya. Aku pun ingin menjadi istrinya yang terbaik, tetapi aku selalu meminta waktu untuk hal itu. Selama dua tahun aku menjadi isti mas Bimo, belum pernah aku tidur bersamanya, dengan alasan ingin menemani anakku. Tetapi tampaknya mas Bimo tak dapat dibohongi, ia pasti tahu alasan yang sebenarnya. Aku hanya mampu menyiapkan makan, membersihkan rumah, dan mencuci bajunya tiap hari.
* * *
             
            Tiga tahun setelah kelulusan mas Bimo kuliah di luar negeri. Ia mencariku ke desaku yang dulu, tak menemukanku ia lelu mencariku keseluruh penjuru. Alasan mengapa ia telah memiliki istri lagi, yaitu karena ia dijodohkan oleh orang tuanya. Setahun ia belum punya anak karena istri mas Bimo didiagnosa kesulitan punya anak, akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi anak.
            Sejak pertemuan di rumahnya itu. Aku dan mas Bimo semakin sering berhubungan secara diam-diam dari suamiku maupun dari istri mas Bimo yang kedua ini. Sejak mas Bimo menceritakan kesusahpayahan dirinya mencariku, aku seperti tersihir kembali olehnya. Aku bimbang akan berbuat apa kedepannya. Tapi aku belum siap kalau mas Bimo mengetahui kejadian memalukan ini. Aku tak siap kehilangan masa-masaku yang sekarang. Masa-masa bahagiaku dengan mas Bimo dan juga anak-anakku, hanya karena masa laluku yang tak pernah sirna dalam ingatan dan batinku.
* * *
            “Nara..! Nara..!” mas Bimo berteriak keras meanggilku.
            “Ada apa mas? Anak-anak sudah pada tidur. Jangan ribut.” Aku berusaha menegur.
            “Bagimana aku tidak ribut. Kau ini! Kau inii... sungguh keterlaluan. Ini lihat! Aku menemukan dasi yang tertinggal di mobilmu, aku juga menemukan ikat rambutmu di tempat yang sama. Apa yang kamu lakukan di belakangku? Dengan siapa kamj melakukan itu? Katakan!” kemarahannya semakin menjadi. Ia kalap sampai menampar pipiku. Aku hanya mampu terdiam membisu. Karena aku pun bersalah telah menampar hatinya keras-keras.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar