Kamis, 14 Februari 2013

MENGUAK KEKUATAN SASTRA FEMINISME ANGKATAN 1970 DAN 2000


Suatu karya pada dasarnya merupakan hasil pemikiran dan perenungan pengarang terhadap berbagai peristiwa di dunia nyata. Tentu saja karya sastra yang dihasilkan tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Sebagai anggota masyarakat pengarang tentu memiliki pendapat tersendiri mengenaisituasi dan masalah yang terjadi di lingkungannya. Berbagai pendapat dan pengalaman tentang kehidupan kemudian dimaknai lalu dituangkan dalam bentuk karya sastra yang tentunya sudah dibumbui dengan peristiwa imajinatifdan kreatitif sang pengarang.

            Penyerapan keadaan sosial melelui karya sastra merupakan hal yang harus diperhatikan pengarang. Sebab ia menulis sebuah tulisan yang diciptakan berdasarkan cerita faktual kemudian digubah kedalam bentuk yang bersifat imajinasi. Hali ini sesuai dengan fungsi karya sastra yaitu berguna dan memberikan hiburan  bagi pembaca.
            Begitupun ketika bergagai belahan dunia terjadi arus gelombang perlawanan, khususnya ketika terjadi pemberontakan terhadap sisitem patriarki yang dipelori kaum feminis ramai dibicarakan. Tidak mengherankan sejak masa kelahirannya hingga kini, pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja selalu dimarjinalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisis yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib kaum sesamanya yang ada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
            Gerakan feminisme ini muncul sebagai upaya perlawanan dan pemberontakann atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum peremuan yang dilakukan selama berabad-abad lamanya. Gerakan feinisme ini pada awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas dan dieksploitasi dan dianggap makhluk kelas dua. Maka feminisme diyakini merupakan langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut.
            Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang  menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a). Feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak, bak dalam pekerjaan maupun pendidikan, b). Feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, c). Feminis sosialis dan Marxis, yang pertama meberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada kelas, d). Feminis posmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan e). Feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme.
            Dalam itu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarah pada wanita. Kritik sastra feminis bukan berarti mengkritik wanita, atau kritik tentang, atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah  pengritik memandang sastra dengan kesadran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamkn yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang andosentris atau patriatikal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan pembaca sastra. Pebedaan jenis kelamin pada diri penyair, penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah yang memepengaruhi situasi sistem komunikas sastra.
            Asal pemkiran feminis ini sebenarnya berasal dari prancis, yaitu ketika terjadi revolusi perancis dan masa pencerahan di Eropa Barat. Berbagai perubahan sosial besar-besaran tersebut turur pula memunculkan  argumen-argumen politik maupun moral. Hal ini berdampak pada pemutusan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Meskipun feminisme ini berasal dari negri menara Eifell tersebut, namun gerakannya sangat gencar dilakukan oleh Amerika. Feminisme sebenarnya akibat ketidakpuasan kaum perempuan terhadap sistem patriaki yang dirasakan telah lama menindas hak-hak perempuan.
            Pada tahun 1776 ketika Amerika memproklamisika kemerdekaannya, telah menyebut “all men are created equal” ( semua laki-laki dianggap sama) tanpa menyebut-nyebut perempuan . Padahal masyarakat dunia telah menjadikan Amerika barometer keadilan dn kebebasan hak asasi manusia. Mereka selalu mendengung-dengungkan persamaan derajat diantara manusia, namun sayangnya hal tersebut tidak dialami oleh kaum perempuan. Para feminisme menganggap bahwa pemerintah tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan perempuan. Hal yang sama berlaku pula pada masyarakat yang berkulit hitam. Masyarakata kulit putih sangat memandang rendah kaum kulit hitam yang kebanyakan imigran dari Afrika.
            Ada beberapa aspek yang turut memengaruhi terjadinya gerakan femisme, yaitu aspek politik seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, yaitu ketika kaum perempuan merasa tidak dianggap oleh pemerintah. Begitu pula tatkala kepentingan-kepentingan kaum perempuan yang berkaitan dengan politik diabaikan. Lalu ada pula aspek agama serta sosialisme.
            Aspek agama, menurut pendapat ini, gereja bertanggung jawab atas kedudukan wanita yang inferior, karena baik agama Katolik maupun protestan menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari pad kedudukan laki-laki. Contoh lainnya yaitu kebiasaan kaum lelaki yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu selalu mengucapkan terimakasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai perempuan.
            Aspek ketiga yang memengaruhi gerakan femisme yaitu konsep sosialisme dan Marxis. Menurut para feminis Amerika, wanita merupakan suatu kelasb masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki.
            Pemikiran tentang gerakan pembebasan perempuan ini turut pula beribas pada berbagai ranah kehidupan sosial, politik, budaya, dan termasuk karya satra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah peristiwa yang berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
            Nilai-nilai inilah yang menjadi penyebab utama inferioritas atau kedudukan dan derajat wanita menjadi rendah. Nilai-nila ini yang menyebabkan kaum wanita terhambat perkembangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Wanita tidak sanggup untuk menjadi pribadi yang mandiri yang bangga akan jati dirinya, terutama dalam hidup bermasyarakat. Mereka bergantung pada laki-laki: bapak, saudara, atau suami khususnya dalam hal keuangan dan daya pikir atau intelektualitas.
            Dalam karya sastra dunia telah diketahui bahwa banyak tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki yang selama ini dirasa telah mengukungkung keberadaan perempuan di berbagai aspek kehidupan.
            Demikian pula halnya yang terjadi pada karya sastra indonesia. Sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan mereka tehadap aturan-aturan tradisi yang telah melekat erat pada sebagian besar masyarakat di indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yang mulai menunjukkan emansipasi perempuan seperti karya Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 1930-an yaitu pada novel Layar Terkembang yang mulai membangkitkan semangat dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.
            Memasuki dekade 1970-an pengarang perempuan mulai menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini ditandai dengan lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat, memiliki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun  masih juga penggambaran perempuan yang bersifat lemah dalam menghadapi berbagai masalah. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an , seperti Karmila yang diusung Marga T, Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Kabut Sutra Ungu  yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Ariyanti. Di samping itu para pengarang perempuan lain yang cukup dikenal di tahun 1970-an adalah Titi Said, Titis Basino, Sariamin, S. Rukiah, La Rose, Maria A. Sarjono, Mariaane Katoppo, dan masih banyak yang lain. Ramainya para pengarang perempuan yang mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia dikarenakan pemikiran bahwa perempuan tentu lebih memahami kondisi perasaan yang dialami oleh kaumnya selain tentunya alasan komersil dan desakan dari penerbit untuk menerbitkan karya-karya mereka. Hal tersebut dapat dapat dimaklumi sebab pada masa itu masyarakat sangat menyukai karya-karya mereka karena dirasa lebih menyentuh perasaan, baik remaja maupun dewasa.
            Apabila dibandingkan dengan angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan ketertindasan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni ditahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada media 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.
            Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak kara sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat dikalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umunya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang  jamak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang fulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan kehidupan seksulitas tokoh-tokohnya. Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan juga. Pengarang yang  juga termasuk dalam  sastrawan  2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas seksualitas
            Seiring dengan arus globalisasi dunia disamping pendidikan pengarang perenpuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan kekuasaan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaan dari kaum perempuan. Meski mendapatkan banyak kritikan dari pengamatan sastra karena banyak mendiskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para feminis risih karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
            Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara angkatan tersebut di antaranya karena perjuagan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makhluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa dukungan dari laki-laki.
            DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Fminis Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama



Tidak ada komentar:

Posting Komentar