Minggu, 10 Februari 2013

Cerpen-Kembalikan Waktuku !



Kembalikan Waktuku !

          Bu. Bapak sungguh tak habis pikir dengan bapakmu itu,” sambil menyeruput kopi hidangannya.
          “Iya Pak. Ibu juga tak pernah menyangka hal seperti itu. Tak pernah berpikir bapak ibu lebih memihak keluarga kang Rasid dibanding kita. Padahal apa kurangnya kita, sewaktu bapak masih hidup.”
          “Bapak benar-benar tidak bisa terima ini semua Bu. Rasanya Bapak ingin menghancurkan keluarga itu. Ingin melihat keluarga itu menderita. Sangat menderita di depan mata kepala Bapak sendiri.”
          Tok.tok.tok..!!
          Assalamu’alaikum..
          “Wa’alaikumsalam,”menjawab “Siapa itu Bu? seperti suara yu Rasid,” terkejut mendengar pintu rumahnya diketuk.
          “Entahlah. Akan Ibu buka pintunya ya Pak.”
          “Minah, ini ada bingkisan buat keluargamu. Karena taku bosan dengan sate julan kami. Kami buatkan semur untuk keluarga kalian. Hitung-hitung hanya untuk syukuran atas pembagian warisan kemarin. Semoga warisan yang kita terima menjadi berkah ya. Ini tolong diterima,” istri Rasid menyerahkan sebuah bingkisan.
          “iya Yu. Semoga saja begitu. Dan semoga berkah walapun terasa tak adil,” menjawab sinis.
          “Sudah Nah. Tidak usah dipermasalahkan lagi. Kemarin kan sudah ditetapkan hasil pembagian warisannya, kita  ikuti hukum agama yang kita anut. Jadi tidak salah kalau suamuku mas Rasid yang mendapatkan lebih dari saudara perempuannya.”
          “Iya iya. Siapa sih yang mau kalah. Terimakasih bingkisannya. Kami sangat terkesan.” Dengan nada menyidir dan sinis.
          “Ya suda Yu  pamit dulu. Oya Nah, besok kan ada pengambilan rapor anak kita. Karena Yu tidak sempat, boleh ya Yu nitip ambilkan sekalian rapor Tono. Terimakasih ya. Assalami”alaikum.”
          “Ya besok kalau sempat Yu. Wa’alaikumsalam.”
          “Benar Bu tadi Yu Rasid?”
          “Iya Pak. Ini ada bingkisan darinya. Tidak sudi Ibu memakannya. Biar Ibu beri ke kucing liar saja yang suka berkeliaran di sini.”
          “Ya terserah padamu saja istriku. Bapak memiliki beberapa ide untuk menjatuhkan keluarga mereka Bu. Tapi Bapak masih ragu-ragu. Tapi bagaimana pendapat Ibu mengenai ini?....”
diskusi penuh rahasia berlangsung dengan persetujuan oleh keduanya. Rencana-rencana matang pun dipersiapkan dengan serius. Entah apa yang ada di otak mereka berdua.
* * *
        Mentari pagi menyapa hari jum’at ini. Masih ada embun pagi yang tersisa di daun-daun kebun pak Hasan yang rimbun, dengan taburan warna-warni bunga di pucuk-pucuk batangnya. Tampak ulat-ulat yang menggeliat terkena paparan sinar pagi yang menyengat di musim kemarau ini.
          Anak sekolah dan pekerja kantoran tampak sibuk di meja makan rumah masing-masing,  menghabiskan sarapan hidangan favorit keluarga. Para petani yang siap menantang sinar mentari dengan cangkul yang masih mengantuk di punggung pak tani. Adapun yang masih terlelap tidur, menunggu sang ibu datang membangunkan. Semua tampak damai dan sejahtera, kalangan bawah maupun atas.
          Hari jum’at yang penuh kedamaian ini. Adalah hari pembagian rapor Wulan dan juga Tono, anak Hasan dan Rasid. Tidak hanya mereka, yang lain pun akan merasa hal yang sama bila harus menghadapi hari-hari ini, yaitu pembagian rapor.
          Sekolah tampak lebih ramai dari biasanya. Bapak dan ibu wali murid tampak rapi dengan pakaian batik mereka, terutama pak Hasan yang akan mengambil rapor Wulan juga Tono. Terlihat benar sepatu yang hitam bersih dan mengkilap sudah dipersiapkan dari kemarin oleh tangan istrinya yang serba bisa itu.
          Semua wali murid tampak siap menerima angka-angka hasil belajar anaknya selama satu semester ini. Baik atapupun buruk toh anaknya sudah berusaha sebaik mungkin. Sedangkan sebagian anak-anak mereka menunggu dengan pucat cemas di balik kaca-kaca jendela kelas mereka. Sebagian justru asyik bermain dengan kelompok teman-temannya. Satu persatu orang tua dipanggil untuk maju menghadap wali kelas menerima rapor beserta beberapa komentar penunjang lainnya.
          “Ana Wulandari” wali kelas memanggil, pak Hasan segera bergegas menghampiri.
          “Bu sekalian mau ambil rapornya Tono, karena orang tua mereka tidak ada yang sempat.”
          “Ooh begitu. Ya baik lah. Rapornya Wulan dulu ya Pak. Begini Pak, ada beberapa penurunan dari putra Bapak yaitu pada beberapa mata pelajaran. Dan hal yang paling mengejutkan dari putra Bapak kemarin ditemukan sedang merokok di belakang sekolah bersama dua anak siswa laki-laki lainnya. Tiga hari sebelum ujian, sekolah pun memutuskan untuk skorsing putra Bapak, dan mengirim surat panggilan kepada orang tua. Tetapi sampai sekarang belum ada kabar dari Bapak. Apakah Bapak suda menerima berita ini sebelumya?”
          Wajah pak Hasan pun seketika merah padam. Jantungnya pun memburu tak karuan menahan malu dan juga kesal kepada anaknya. Terlintas bayangan untuk menyeret anaknya dari sekolah pulang ke rumah.
          “Bagiamana bisa anak saya seperti iu Bu? Saya tidak menerima berita apapun.”
          “Ya sudah yang penting sekarang Bapak sudah mengetahui yang sebenarnya. Putra Bapak tampaknya butuh bimbingan dan perhatian lebih dari Bapak.” Sang wali kelas pun hanya mampu membantu menenangkannya, karena semua pihak sekolah sudah tahu bagaimana seluk beluk keluarga ini. Apapun akan disingkairkan, hal yang dianggap menganggu hidup mereka. “Oh ya giliran Tono ya pak? Kalau Tonon masih aman-aman saja. Tampaknya ia sudah mampu mengikuti pelajaran-pelajaran di kelas dengan baik.  Namun dia sungguh anak yang pemalu, sehingga dalam pembelajaran ekspesi sering terhambat. Tapi selain masalah itu mampu diatasi.”
          “Begitu ya Bu. Ya sudah terimakasih atas kesabaran Ibu untuk membimbng anak kami. Saya pamit dulu Bu,” berpamitan dengang muka masam. Semua orang yang melihat pun akan tahu seperti apa wujudnya gunung yang siap memuntahkan lavanya.
          Sorot mata pak Hasan begitu tajam menatap Wulan anak perempuan semata wayangnya yang hendak mnginjak kelas dua SMP. Tanpa berkata-kata, Wulan langsung tahu maksud dari tatapan ayahnya tersebut, sinyal-sinyal yang terpancar dari matanya memberi kode agar Wulan ikut segera pulang dengannya. Dengan tertunduk takut, Wulan membayangi langkah ayahnya, terlintas dipikirannya bahwa ia akan dihabisi oleh ayah ibunya setiba di rumah nanti. Tono yang sudah terlanjur takut, mengurungkan niatnya untuk mengambil rapor yang masih dalam genggaman ayah Wulan.
****
          “Anak tidak tahu malu!” bersamaan dengan tangannya yang ringan membanting anaknya ke lantai, diikuti isak tangis Wulan.
          “Ada apa to Pak, pulang-pulang langsung ngamuk seperti ini? Ibu Minah dari arah dapur langsung berlari menghampiri sumber keributan.
          “Ini Bu anakmu. Anak tidak tahu malu! Merokok bersama teman laki-laki. Sudah rusak kau ini!” sambil menendang Wula, tangis Wulan semakin menjadi.
          “Sudah pak sudah. Biar Ibu saja yang urus ini semua. Serahkan saja semua sama Ibu,” berusaha menenangkan suaminya sambil mengelus dadanya lembut agar emosinya menurun. “ ayo Wulan masuk ke kamarmu, tidak usah menangis terus. Waktu tidak akan kembali untuk memperbaiki kelakuan nakalmu.” Meraih anaknya dengan lembut.
          “Maafkan Wulan Bu,” dengan setengah duduk memegangi kaki ibunya dan masih menangis.
          “Sebenarnya Ibu sangat marah padamu, tapi Ibu masih kasian padamu yang telah habis dimarahi ayahmu,” lembut mengelus-elus rambut anaknya.
          Ini semua tampak tak biasa. Dalam hari-hari biasanya seharusnya ibunya akan lebih marah seperti ayahnya. Tapi hari ini tampak begitu berbeda. Ada apa ini? Tanya hati Wulan pada dirinya. Tak henti Wulan menangis hingga ia tertidur.
****
          “Pak seharusnya Bapak tidak sebegitu besar marahnya pada anak kita”
          “Lho mengapa Ibu berubah menjadi baik seperti ini?” tanya pak Hasan heran. “Apa Ibu telah berubah pikiran terhadao rencana kita pada har ini?”
          “Oleh karena itu Pak. Kita harus baik-baik terhadap anak kita, karena kita juga melibatkannya dalam rencana kita yang cukup bahaya ini.”
          “Jadi Ibu sudah membocorkan rencana kita pada Wulan?”
          “Tidak Pak. Tenang saja. Ini masih tetap menjadi rahasia kita. Wulan maih terlalu kecil untuk mengerti masalah ini.
          “tok.tok.tok...sateee.satee...” suara pak Rasid terdengar dari kejauhan sedang menjajakan satenya.
          “Pak? Bapak sudah siap?”
          “Iya Bu. Ayo kita kerjakan mulai dari sekarang.”
          “Kang! Beli satenya Kang. Tiga puluh sate ya Kang.”
          “Iya Nah. Kok tumben sekali beli banyak. Ada pesta di rumahmu?” tanya pak Rasid.
          “Tidak ada acara apa-apa kok Kang. Kangen saja sama sate Kang Rasid.”
          “Ah bercanda kamu. Sudah bertahun-tahun makan sate Akang masih saja bisa merasa kangen. Oh ya mau sekalian ambil rapor Tono, katanya kemarin Tono belum sempat memintanya. Bagaimana hasil rapor Wulan anakmu?”
          “Wulan sangat mengecewakan rapornya. Sudah jangan ditanya lagi membuat panas hati saja. Tunggu ya Kang akan Minah ambilkan rapor Tono.”
          “Ini Kang. Satenya sudah jadi?” sambil menyerahkan rapor milik Tono.
          “Oya ini sudah jadi. Trimakasih ya sudah mau ambilkan rapor Tono. Kemarin Akang dan mbakyumu tidak sempat mengambilnya.”
          “Iya Kang sama-sama. Terimakasih satenya”
          Pak Rasid masih tak sadar akan kelembutan adik bungsunya tersebut. Kebaikan ini tidak tanpa alasan. Dalam otak Minah juga suaminya banyak rencana-rencana busuk yang belum pernah diwujudkan. Terutama rencana untuk menjatuhkan keluarga kakanya.
          “Pak... Pak. Bapak benar-benar sudah siap?” tanya ibu Minah meyakinkan.
          “Iya sudah Bu. Ayo sajikan satenya. Bapak sudah atur semuanya dengan baik. Tak ada yang cacat satu pun. Dan kita akan berhasil. Haa..haha”
          “Haha.hahha.. benar sekali Pak. Benar.”
          Suara berisik dari kedua orang tuanya, menghentikan mimpi-mimpi indah Wulan sore itu. Dibuatnya penasaran, ingin menghampiri tetap masih merasa taku dengan amukan ayahnya, yang pasti belum reda, pikirnya dalam hati.
          “Wulaaan. Wulaan. Ibu tahu kamu sudah bangun. Ayo cepat keluar. Ibu sudah belikan sate pak dhemu ini ayo.”
          Dengan langkah penuh takut Wulan menghamiri meja makan.
          “Ini satenya. Ayo ini ibu ambilkan nasinya. Makan yang banyak. Tadi siang kamu kan belum sempat makan siang. Kamu sudah tidur dulu si, Ibu tidak tega bangunkan kamu.” Bujuk rayu ibunya sanbil mengambilkan nasi ke piring Wulan, dan Wulan pun mulai luluh dari rasa takutnya.
          Keluarga itu pun mulai menikmati satenya dengan lahap. Masih dala canda tawa, tiba-tiba Ibu Minah mengeluh sakit perut luar biasa, disusul Wulan, ayahnya pun merasakan hal yang sama. Semuanya terkapar di lantai ruang makan. Pak Hasan yang masih sadar menyempatkan diri menelepon salah satu tetangganya meminta pertolongan.

****
          “Bagaimana Dok keadaan keluarga ini,” tanya salah seorang tetangga pak Hasan. “Saya ini tetangga mereka yang membawa mereka kemari.”
          “Begini Pak. Keadaan mereka saat ini masih kritis. Tetapi sepertinya Bapak tersebut akan lebih cepat sadar dari lainnya karena efek racunnya belum terlalu parah. Seperti mereka telah keracunan makanan. Zat apa itu, akan kami teliti lebih lanjut. Apa bapak tahu mereka sedang makan apa sebelum mereka jatuh pingsan?”
          “Sepertinya makan sate Pak. Tapi keluarga saya baik-baik saja, setalah makan sate yang kami beli dar penjual yang sama.”
          “Oh baik. Terimakasih laporannya pak. Akan kami teliti dari sampel darah mereka.”
          “Pak Rustono?” panggil pak hasan dari dalam ruang rawat.
          “Iya pak Hasan. Kau siuman Pak? Apa yang terjadi sehingga bisa seperti ini?”
          “Entah Pak. Saya tidak tahu. Tetapi saya curiga dengan sate dari Kang Rasid yang saya makan. Saya juga sudah melaporkan ini kepolisi tadi sebelum Bapak masuk.”
          “Ah yang benar saja Pak. Tidak mungkin sate itu diracuni ole Pak Rasid. Memangnya keluarga Bapak salah apa?”
          “Saya juga tidak merasa salah. Tapi ini bisa saja karena pembalasan dendam Pak Rasid pada keluarga kami. Sudah ya Pak. Saya rasa masih butuh istirahat. Tubuh inu belum kuat untuk beraktivitas banyak.”
          “Ya sudah. Sebaiknya Bapak istirahat dulu yang banyak. Kami akan bergantian untuk menjaga keluarga Bapak disini.”
          Ternyata inilah rahasia yang direncanakan pak Hasan oleh istrinya. Benar-benar nekat dan membahayakan mereka sendiri. Tak pasti keluarga pak Rasid akan jatuh, bisa-bisa malah mereka yang mati karena racun yang mereka makan sendiri.
****
          “Bapaaak. Bapaak.. jangan sakiti Wulan. Wulan minta maaf atas kenakalan Wulan. Wulan janji Wulan akan jadi anak yang menurut dengan Bapak. Bapaaak. Bapaaak.” Suara Wulan semakin menjauh.
          Tiba-tiba pak Hasan terbangun dari mimpinya. Ia merasa lega ternyata itu hanyalah sebuah mimpi bahwa ia ditiggalkan oleh anaknya untuk selamanaya. Tetapi ia juga terkejut banyak polisi yeng berjajar mengelilingi ranjang tidurnya.
          “Selamat pagi Pak.” Sapa seorang polisi dengan posisi hormat. Pak Hasan hanya bisa membalas dengan senyum bingung. “Maaf kedatangan kami telah mengganggu tidur Bapak. Sebelumnya kami ucapkan turut berduka cita atas meninggalnya putra Bapak yang bernama Wulan. Dan berita selanjutnya kami, mendapatkan bukti bahwa tersangka dalam perencanaan pembunuhan ini adalah Bapak. Oleh karena itu, kami memberikan surat penahanan untuk Bapak.
          Jantung pak Hasan serasa lepas dari tubuhnya. Mulutnya bergetar. Wajahnya yang pucat semakin memucat.
          “Wuullaannn anakkuuu... Wualaaann..”tangis Pak Hasan memenuhi ruangan.”Istriku mana? Mana istrikuu?” sambil meronta-ronta seperti orang gila.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar